Aku seakan masih belum percaya sedang menuju Nepal. Menunggu penerbangan Thai Airways di Bandara Svarnabumi yang megah di Bangkok, aku masih berasa mimpi akan menuju ke tempat impian, negara atap dunia. Karena tak ada penerbangan yang langsung menuju Kathmandu dari Jakarta, maka penerbangan dari Indonesia menuju ke Nepal transit dulu Bangkok.
“Menuju pegunungan salju Himalaya itu ibarat pergi haji-nya pendaki gunung di Indonesia, umrohnya ke salju Papua,” aku ingat gurauan teman-teman di kampus suatu ketika,” Sekali seumur hidup kamu harus kesana.”
Tentu saja mereka bercanda kala mengatakannya, namun sebuah pesan terselip betapa semua penggemar petualangan mendambakan dapat mengunjungi Nepal dan para pendaki ingin bercumbu dengan pegunungan Himalaya. Tak usahlah berharap bisa mencapai puncak Everest karena biaya pendakiannya selangit. Cukup bisa melihat dengan mata kepala sendiri sang mother of the mountains yang dipuja-puja para pendaki itu.
Tekadku semakin membara kala seniorku pulang dari Kalapattar (5.550 meter dpl) dengan membawa oleh-oleh cerita yang membuai mengenai pegunungan Himalaya. Selama ini aku hanya bisa membayangkan pegunungan Himalaya dari film-film bertemakan pendakian seperti Seven Years in Tibet atau Vertical Limit. Sejak itu aku merasa bahwa undangan sakral telah dibisikan oleh pegunungan itu kepada diriku.
Maka sebuah ajakan dari kedua seniorku yaitu Flora Damayanti dan Butet Manurung tak memerlukan waktu lama segera kusanggupi. Walau hanya punya waktu beberapa bulan, segera kupersiapkan sebaik-baiknya selayaknya seorang mahasiswa menghadapi sidang skripsi. Inilah mimpi selama aku menggeluti dunia petualangan.
Tujuan kami adalah Thorung La Pass atau sering juga disebut Round Annapurna yang merupakan salah satu jalur trekking yang populer di Himalaya, dengan poin tertingginya mencapai ketinggian 5.416 meter di atas permukaan laut. Jalur ini merupakan suatu sirkuit treking dengan kombinasi jalur hutan, perbukitan yang naik turun, desa-desa terpencil, lembahan yang indah hingga lansekap pegunungan yang gersang. Di sepanjang jalur Annapurna ini terdapat trekker lodge atau homestay untuk beristirahat. Dari jalur ini kami bisa melihat puncak-puncak yang megah di Himalaya seperti Manaslu, Dhaulagiri dan Annapurna yang tak akan bisa disaksikan dari tempat lain.
Perjalanan dimulai dari ketinggian dibawah 1.400 meter dpl, mengingat ketinggian kota Kathmandu tak jauh beda dengan Lembang di Bandung yaitu sekitar 1.400 meter dpl. Jalur treking ini memerlukan waktu lebih dari duapuluh hari untuk terselesaikan, yaitu dari Besi Sahar dekat Khatmandu menuju Throng La (5.416 meter) lalui kembali turun melalui jalur yang lain ke Pokhara, yang terletak 150 kilometer sebelah Barat Laut dari Kathmandu.
Kathmandu sendiri merupakan kota yang menarik untuk dieksplorasi dimana ibukota Nepal ini menyediakan beragam fasilitas turisme dengan harga bervariasi. Tempat akomodasi tinggal pilih sesuai kemampuan dari penginapan bertarif $ 3 di Freak Sreet, hotel kelas menengah di Thamel hingga Hotel Grand Hyatt yang bertarif $ 200 per malam. Beberapa tujuan wisata kota di Kathmandu yang menarik dikunjungi adalah kawasan Thamel yang banyak menjual suvenir, bekas istana di Patan atau Istana Hanoman tempat raja-raja Nepal di Durban Square.
Hampir satu bulan kulewatkan waktu untuk jalan-jalan di Nepal dan treking di pegunungan Himalaya. Petualangan kali ini benar-benar telah menguras tabungan hingga kala selesai hanya tersisa ongkos tiket untuk pulang. Namun semuanya sebanding dengan kepuasan yang dirasakan. Bahkan sebulan pun rasanya bahkan belum cukup karena masih banyak tempat yang ingin dikunjungi. Aku berjanji suatu saat akan kembali ke negara atap dunia itu untuk melakukan petualangan lain yang lebih menantang lagi.
kontributor : Nurlaela Ramli